Makalah Sosiologi dan Politik
Judul
Agama dan Tindakan Ekonomi
Oleh:
Robi Candra 312.102
Dosen Pembimbing
MUHAMAD TAUFIK, M.SI
JURUSAN EKONOMI ISLAM (A)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1434/2013
KATA PENGATAR
Segala puji bagi Allah SWT yang memberikan nikmat yang tidak
terhingga, baik nikmat jasmani, rohani, rezki maupun nikmat iman, Islam kepada
kami yang patut yang kami syukuri dan kepada-Nya kami memohon pertolongan,
ampunan serta tempat kami berlindung dari kejahatan dan kejelekan. Syukur
Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala berkat rahmat –Nya
kami telah dapat menyelesaikan Makalah, yang membahas tentang “Agama dan
Tindakan Ekonomi “ pada mata kuliah “Sosilogi dan Politik”.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, arahan, masukan , kritikan dan saran yang kami harapkan .
Akhirnya kami berharap makalah ini dapat dijadikan bahan
pertimbangan dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
BAB II
ISI
A.
BAGAIMANA SPIRIT AGAMA MEMPENGARUHI TINDAKAN EKONOMI.
Defenisi Agama
Dalam
mendefenisikan agama, para ilmuwan sosisal biasanya menggunakan dua macam
defenisi yang biasa melengkapi satu sama lain, yakni defenisi substantif dan
defenisi fungsional.
a.
Defenisi
substantif.
Defenisi
substantif berusaha menjawab apa itu agama? Defenisi tersebut berusaha
menetapkan batas – batas atau kategori – kategori dari sebuah fenomena yang
menyebabkanya disebut agama dan membedakanya dari fenomena lain yang bukan
agama. Salah satu contoh dari defenisi seperti itu adalah defenisi agama
menurut Melfrod Spiro. [1]Dia
mengatakan agama sebagai suatu instusi yang terdiri dari interaksi yang
terpolakan secara kultural dengan pengandaian akan keberadaan yang supranatural.
Pengakuan
akan adanya kekuatan supranatural di dalam defenisi itu menunjukan keberadaan
kekuatan yang mengatasi kekuatan manusia, kekuatan tersebut dapat membantu
manusia dan sebaliknya dan dapat membahayakan manusia. Hal itu tergantung pada
perbuatan manusia itu sendiri, kalau manusia melakukan hal – hal yang
dikehendaki oleh kekuatan supranatural tersebut, maka dia akan membantu
manusia. Sebaliknya, apabila dia melakukan hal – hal yang bertentangan dengan
keinginan dari kekuatan supranatural tersebut maka kekuatan itu akan
mecelakakan manusia.
b.
Defenisi
Fungsional.
Defenisi
fungsional tentang agama menekankan apa yang di buat oleh agama untuk seorang
individu, kelompok, atau masyarakat. Karena itu, agama didefenisikan didalam
istilah – istilah fungsi yang harus ia jalankanya. Isi dari kepercayaan dan
praktik keagamaan juga disebut, tetapi tidak terlalu penting untuk strategi ini
dibandingkan dengan konsukuensi – konsukuensi dari agama itu untuk kehidupamn
masyarakat.
Salah
satu contoh dari defenisi seperti ini deberikan oleh Clifford Greertz. Dia
mengartikan agama sebagai system simbol yang berfungsi “menentramkan suasana
hati dan memberikan motivasi yang kuat dan tahan lama didalam kehidupan
manusiadengan menetapkan konsep – konsep atau merumuskan kepercayaan –
kepercayaan tentang tatanan umum eksistensi (manusia dan masyarakat ) dan
membungkus konsep – konsep atau kepercayaan – kepercayaan itu seolah – olah
sebagai sesuatu yang real atau merupakan yang fakta sehingga suasana batin dan
motivasi yang tercipta pun menjadi real.
Konsep – konsep atau kepercayaan – kepercayaan
yang dijelaskan oleh agama diupayakan sedemikian rupa seolah – seolah konsep –
konsep atau kepercayaan – kepercayaan itu adalah real walaupun secara empiris
sulit dibuktikan.
Ancangan Sosiologik terhadap Kajian Agama.
Mengenai
tuntutan ini, dan bagaimana para ahli sosiologi dengan pemikiran para filosuf
agama atau ahli teologi, atau dengan para pengkaji perbandingan agama. Di awali
dengan melihat perbedaan antara ahli teologi dan sosiologis, ahli teologi
mengawali kajianya dengan kepercayaan terhadap adanya tuhan, dan berusaha
melaksanakan berbagai implikasi dari keyakinan ini terhadap kehidupan manusia,
berbeda dengan cara – cara lain, dimana pengalaman manusia membantu kita
memahami hakikat tuhan.
Selain itu, ahli teologi secara karakteristik merupakan
pemikir dalam tradisi keagamaan tertentu, misalnya Kristen, hindu, dan
sebagianya, yang pertama menaruh perhatian terhadap berbagai kebenaran, sesuai
dengan keyakinan dalam tradisi tertentu,sebaliknya ahli sosiologi munkin
menganut agama (kepercayaan ) tertentu atau sama sekali tidak mempunyai agama,
dan data yang dikerjakanya mungkin diperolehnya dari salah satu atau banyak
system agama, dari agamanya sendiri atau dari agama – agama yang sama sekali berbeda
dengan agamanya sendiri.
Dengan
demekian terdapat perbedaan postur intelektual dan juga perbedaan kepentingan, antara ahli teologi dan ahli
sosiologi itu.[2]
Namun demikian terdapat juga titik temu dalam kepentingan – kepentingan mereka.
Ahli teologi menganalisis pengalaman manusia dalam rangka memasuki secara lebih
mendalam hakikat Tuhan dan perbuatan – perbuatanya di dunia, ahli sosiologi
berkeyakinan bahwa hanya dengan menganalisis berbagai pengalaman tertentu dai
berbagai masyarakat tertentu sajalah dia dapat menampilkan seperangkat
keyakinan dan peribadatan agama tertentu sehingga mudah dipahami.
Hubungan agama dan ekonomi.
Agama
merupakan sistem sosial yang sudah terlembaga dalam setiap masyarakat. Secara
mendasar agama menjadi norma yang mengikat dalam keseharian dan menjadi pedoman
dari sebagai konsep ideal. Ajaran – ajaran agama yang telah dipahami dapat
menjadi pendorong kehidupan individu sebagai acuan dalam beriteraksi kepada
Tuhan, sesame manusia maupun alam sekitarnya. Ajaran itu bias diterapkan dalam
mendorong perilaku ekonomi, social dan budaya[3].
Agama
dan Etos kerja ( Ekonomi ) memang memiliki wilayah yang berbeda. Agama bergerak
dalam dimensi spiritual, sedang bekerja atau usaha adalah berdimensi duniawi
untuk mencari nafkah hidup. Namun, pada wilayah yang lain, agama dan etos kerja
memiliki relevansi yang cukup signifikan sebagai salah satu motivasi spiritual
menuju tambahan nilai kebaikan dan amal bagi keluarga dan orang lain.
Sejarah
membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek
material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, social, maupun
budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat segnifikan antara
kemajuan dalam pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material.
B.
MEMAHAMI BAGAIMANA TESIS MAX WEBER
Biografi Max Weber.
Maximilian Weber (lahir di Erfurt,
Jerman, 21 April 1864 – meninggal Munchen, Jerman, 14 juni 1920 pada umur 56
tahun) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiologi dari jerman yang
dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi Negara
modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama
dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang
paling popular adalah esai yang berjudul Etika
Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitianya tentang
sosiologi agama.[4]
Weber berpendapat bahwa agama adalah
salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan
Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainya, politik sebagai panggilan, Weber
mendefenisikan Negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam
penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah defenisi yang menjadi penting
dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Pendekatan Psikologis Terhadap Agama.
Didalam
bukunya yang berjudul The Social
Psychology of The World Religions, Weber menguraikan pendekatan psikpologis
terhadap agama. Di dalam buku tersebut, dia menolak pemikiran yang mengatakan
bahwa dalam menghubungkan agama dengan faktor – faktor social, seseoarang harus
menggunakan pendekatan yang bersifat reduksionis. Dia menolak tesis yang
mengatakan bahwa agama adalah sebuah ilusi seperti yang dilakukuan oleh Freud.
Weber juga tidak bisa menerima teori – teori tentang agama yang mengatakan
bahwa agama merupaka satu bentuk pelarian dari penderitaan dan kesulitan hidup
walaupun dia mengakui adanya hubungan antara agama dan penderitaan. Dalam
diskusinya, dia memberikan penjelasan tentang hubungan antara agama dan
kesulitan hidup.[5]
Menurut Weber, dalam banyak tradisi keagamaan khususnya
dalam masyarakat pra-industri, orang – orang yang mengalami kemalangan atau
malapetaka berpikir bahwa kemalangan itu disebabkan kemarahan para dewa yang
menghukum mereka. Selain itu,
mereka juga berpikir bahwa penderitaan atau sakit disebabkan kemarahan oleh
kerasukan roh – roh jahat yang marah akibat perbuatan – perbuatan mereka.
Menurut Weber, kepercayaaan seperti ini adalah akar dan sumber dari sikap
keagamaan. Secara fundamental, agama merupakan tanggapan kesulitan dan
penderitaan dalam hidup serta berusaha memberikan makna terhadap apa yang
mereka alami.Konsep – konsep tentang agama muncul sebagai akibat dari kenyataan
bahwa secara fundamental manusia itu rapuh dan tidak pasti. Ketidak pastian dan
kerapuhan diantara lain tampak didalam kenyataan bahwa kadang – kadang manusia
menginginkansesuatu, tetapi keinginan itu tidak selalu bisa terwujud. Hamper
selalu ada perbedaan antara apa yang kita pikirkan dengan kenyataan yang
terjadi. Perbedaan itu bisa di jumpai di dalam berbagai tingkatan pada
tingkatan yang paling dasar, perbedaan itu ditemukan didalam keinginan –
keinginan akan hal – hal material dengan kenyataan – kenyataan yang sebenarnya.
Pemikiran Max Weber tentang Sosiologi Agama.
Karya
Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan
analisis[6] Agama Tiongkok : Konfusianisme dan Taoisme, karyanya tentang agama – agama lain
terhenti oleh kematianya yang medadak pada tahun 1920,hingga ia tidak dapat
melajutkan penelitianya tentang Yudaisme
Kuno dengan penelitian – penelitian
tentang Mazmur, kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan awal dan Islam.
Tiga
tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan
stratifikasi budaya Barat. Diawali oleh esai etika protestan dan semangat
kapitalisme, Weber menyebut agama adalah salah satu alasan utama perbedaan
antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam
kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi social dan pemikiran agama serta
pembedaan karakteristik budaya barat.
Tujuannya
untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur
yang berbeda. Weber kemudian mejelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran
agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem
ekonomi di Eropa dan Amerika, namun tentu saja ini ditopang dengan factor lain
diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan
dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi
terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber
semata hanyalah meneliti sutu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan
dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek
pembeda yang sangat pentingdari budaya yang ada di barat.
Tugas pertama yang dilakukannya adalah menampilkan bukti
mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama protestan dan
perkembangan yang sangat cepat menuju kaiptalisme. Dia mengemukakan contoh
terkenal di negeri belanda pada abad-abad ke 16 dan 17, mengenai pemilikan
bersama dalam kegiatan usaha kapitalis dikalangan keluarga huguenots dan
orang-orang katolik di perancis pada abad-abad ke 16 dan 17, dikalangan
kelompok puritan di inggris, dan lebih dari itu juga dikalangan para penganut
cabang puritanisme inggris yang menetap di amerika dan mendirikan wilayah new
england. Pandangan weber adalah bahwa penolakan terhadap tradisi, atau
perubahan sangat cepat dalam metode dan valuasi terhadap kegiatan ekonomik
seperti itu, tidak akan mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama.[7]
Setelah mengetahui adanya hubungan antara agama protestan
Calvinis dan kapitalisme ini, weber lebih lanjut berusaha membahas dan
mengidentifikasikan berbagai ciri yang membedakan antara kapitalis moderen dan
berbagai corak organisasi ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan
antara Calvinisme dan beberapa versi lain agama kristen.
Orang-orang Marxis berpendapat bahwa corak Calvinis dalam
agama protestan adalah idiologi yang digunakan untuk mengesahkan kapitalisme
pasar bebas dan sebagai penolakan terakhir dari kekuasaan-kekuasaan hukum kanon
katolik yang semakin melemah mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi.[8]
Dalam satu hal, meskipun cara yang digunakan untuk
membedakan dua macam corak ideal kapitalis itu bertentangan sama sekali, weber
melihat bahwa dalam kehidupan nyata keduanya cenderung dikacaukan. Dia
mengakui, sebagaimana sudah saya sebutkan, bahwa “tujuan-tujuan puritanik
cenderung mengendor karena tekanan berlebih-lebihkan dari godaan harta,
sebagaimana diketahui benar oleh kalangan puritan sendiri.[9]
Dalam kajian terhadap etika protestan dan calvinisme
weber sering kali menggunakan dua istilah yang makna pasti memerlukan
penelahaan lebih lanjut. Istilah yang pertama adalah istilah yang dicetuskan
dan dipakainya sendiri---“asketisisme dunia batin”( inner-worldy ascetism).
Yang kedua istilah “rasionalisme” atau “rasionalisasi” yang bersifat umum.
Kedua istilah itu juga secara luas dipergunakannya dalam kajian mengenai
perbandingan agama, dan istilah yang kedua merupakan kata kunci dalam pandangannya
tentang sosiologi, karena itu makna kedua istilah tersebut mempunyai arti
penting.[10]
Pengaruh agama ascetis protestan
Weber membedakan empat aliran utama dari agama protestan
ascetic: Calvinisme, metodisme, pietisme dan sekte baptis. Pembahasan Weber
tentang agama protestan asketik, tidak melibatkan suatu penuturan historis dari
dogmanya, akan tetapi hanya membahas unsur-unsur doktrin sekte-sekte tersebut,
yang sangat banyak akibatnya dalam hal pengaruh atas prilaku praktis individu
dalam kegiatan ekonominya.[11]
Weber beragumentasi bahwa akibat dari doktrin ini bagi
sipemeluknya, tentunya adalah suatu ‘kesepian di dalam hati yang belum pernah
terjadi sebelumnya’.
Menurut weber, perbedaan yang paling tampak, yang
memisahkan calvinisme dari Lutheranisme maupun agama khatolik. Calvinisme
dengan demikian membuat suatu kesimpulan akhir tentang proses sejarah
besar,yang dibahas oleh weber dikesempatan lain secara terperinci: yaitu proses
bertahap dari ‘kekecewaan’ (Entzauberung)
dunia.[12]
Weber mengawali bukunya The Protestant Ethic dengan mengemukakan suatu fakta statistik
untuk penjelasan : yaitu fakta bahwa didalam eropa modern ‘pemimpin-pemimpin
niaga dan para pemilik modal, maupun mereka yang terholong sebagai buruh
terampil tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan perusahaan-perusahaan modern
yang terlatih dalam bidang teknis dan niaga, kebanyakan memeluk agama
protestan.
C.
MEREFLEKSIKAN TESIS MAX
WEBER DALAM KONTEKS SEMANGAT ISLAM DAN PERILAKU
PENGUSAHA MUSLIM.
Konsep Kerja Keras Pandangan Islam.
Didalam
kehidupan, orang harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka.
Tekanan structural pada kehidupan masyarakat sedemikian berat sehingga hamper
sepanjang waktu mereka harus bersaing satu sama lain untuk memeperoleh atau membagi
ruang kegiatan ekonomi yang sempit. Dan hampir semua usaha mereka diarahkan
terutama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Dalam konteks ini, tampaknya
tidak mengherankan sepeti kita lihat
bahwa masyarakat cendrung menimbang masalah – masalah cultural, idiologi dalam
cara yang praktis.
Tampak
bahwa kondisi material, atau kebutuhan ekonomi, berada diuruta pertama,
sedangkan masalah – masalah idiologis – keagamaan, atau hal – hal yang tidak
material, menduduki urutan kedua. Kondisi material itu sedemikian penting dalam
kehidupan mereka sehingga agama (dalam pengertian sempit, sembahyang lima waktu
atau puasa ) menjadi kebutuhan mewah. Ini harus di artikan bahwa gama hanya
menduduki tempat kedua dalam kehidupan masyarakat.[13]
Orang
islam yang ideal bukan orang yang terus – menerus sembahyang dari pagi sampai
petang, tetapi yang bekerja dan berdoa, dan bekerja lagi dan berdoa lagi terus
menerus. Berkaitan dengann konsep kerja keras Mohamad Sobari dalam bukunya
menyatakan islam berisi ajaran semangat kerja keras, yang bisa dibandingkan
dengan gagasan Barat bahwa “waktu adalah uang”,dia mengatakan bahwa kerja keras
adalah menifestasi terpenting dari ibadah. Kerja keras itu lebih nyata dibanding,
misalnya, membaca Alqu’ran ,dia menegaskan bahwa kita harus bertahan hidup di
dunia , dia mengatakan kita haruslah
berkerja keras untuk memeperolehnya.
Etos Kerja Padangan Weber
Dengan Konsep Kapitalisme.
Semangat kapitalisme juga meliputi etika kerja yang
berarti bahwa semua waktu yang tidak digunakan untuk mendapatkan uang adalah
suatu pemborosan. “Waktu adalah uang” merupakan prinsip dari kaum kapitali ini.
Mereka juga berpendapat bahwa tidak bekerja sepanjang hari adalah suatu
pemborosan walaupun selama sepanjang sehari adalah satu pemborosan walaupun
selama sehari itu tidak mengeluarkan uang.[14] Usaha
untuk mencari keuntungan demi keuntungan mengandung implikasi bahwa segala
bentuk pemborosan harus dihindari, biaya ditekan dan tidak ada modal yang disia
– siakan. Perhitungan antara pemasukan dan pengeluaran dibuat secara teliti.
Tetapi, semua ini bukan cuma persoalan cara berbisnis yang sukses melainkan
sebuah etika atau etos yang khas dalam upaya menjawab panggilan Tuhan.
Etos
bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja pada manusia. Keinginan untuk memperoleh
uang bersifat alami, tetapi etos khusus yang menekankan uasaha sistematis untuk
memperoleh uang melalui cara – cara rasional dengan didasari pembatasan di
dalam kosumsi yang diusahakan dan dikembangkan. Hal inilah yang menyebabkan
perkembangan ekonomi yang hebat didunia Barat. Dalam kenyataanya, menurut
Weber, keinginan untuk mendapatkan uang ,jika tidak disertai dengan etika
seperti yang dijelaskan diatas.
Kekuatn yang menghalangi pertumbuhan ekonomi seperti kapitalisme
rasional adalah sikap tradisionalisme. Sikap ini ditandai kecendrungan mau bekerja hanya kalau perlu
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari. Menurut Weber, tidak ada manusia
yang secara kodrat ingin menghasilkan lebih dan lebih demi penghasilan itu
sendiri. Kebanyakan manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasar
dan kalau kebutuhan dasar itu sudah terpenuhi mereka beristirahat. Sikap
seperti inilah yang paling dominan
ditemukan pada masyarakat prakapitalis dan pada sebagian dunia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Bagimana Spirit
Agama Mempengaruhi Tindakan Ekonomi
Dengan
memiliki aspek diantaraanya :
·
Defenisi agama.
·
Ancangan Sosiologik terhadap Kajian
Agama.
·
Hubungan agama dan ekonomi
2.
Memahami Tesis
Max Weber.
·
Biografi Max
Weber.
·
Pendekatan
psikologis terhadap agama.
·
Pemikiran max
weber terhadap sosiologi agama.
·
Pengaruh
agama ascetis protestan.
3.
Mereflesikan
tesis max weber dalam konteks semangat islam dan perilaku npengusaha muslim.
·
Konsep kerja
keras pandangan islam.
·
Etos kerja
padangan weber dengan konsep kapitalisme.
SARAN
Penulis tidak terlepas dari
kesalahan yang disampaikan melalui makalah ini. Masih banyak yang harus penulis
sampaikan dalam makalah ini, namun keterbatasan wawasan penulis dan rujukan
penulis temui yang tidak dapat penulis sampaikan dalam makalah ini. Kami
berharap pembaca dapat mencari selain rujukan yang kami temui. Untuk itu
penulis berharap pembaca memberi kritik dan sarannya.
Untuk itu atas kekurangan dari
makalah yang penulis berikan, penulis mohon maaf. Semoga makalah ini dapat
menambah wawasan kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
SVD, Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi,
( Jakarta, Obor,
2013 ).
Sobari,
Mohamad, Kesalehan dan Tingkah Laku
Ekonomi, (Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya Sembilegi, 1999 ).
Schraf,
R, Betty, Sosiologi Agama, (Jakarta, Kencana, 2004 ).
Giddens, Anthony, Kapitalisme
dan Teori Sosial Modern, Jakarta, Universitas indonesia (UI-Press), 1986.
Schraf, R. Betty, Kajian
Sosiologi Agama, Yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogya, 1995.
Sudrajat, Ajat, Etika
Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Di Indonesia, Jakarta,
Bumi Aksana, 1994.
[1] Bernard Raho svd, Agama dalam perspektif
sosiologi, hlm 7.
[2] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, hlm 3.
[3] Nasir, Nanat Fatah, http;// Etos kerja
wirausahawan muslim.
[4] Http;//id. Wikipedia.org/ Maximiliam Weber.
[5] Bernard, Raho svd, Agama dalam Perspektif
Sosiologi, hlm 58.
[6] Http ;//idsaripudin,wordpres.com/pemikiran
max –weber.
[7] Schart,
S, Betty, Kajian Sosiologi Agama,
yogyakarta, 1995.
[8] Ibid,
hal 183
[9] ibid,
hal 185
[10] Ibid,
hal 186.
[13] Mohamad, Sobari, Kesalehan dan tTngkah Laku
Ekonomi, hlm 164.
[14] Benard, Raho svd, Agama dalam Perspektif
Sosiologi, hlm 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar