MAKALAH
Sosiologi ekonomi
Tentang
Konsumsi dan gaya
Hidup
Oleh :
Robi Candra 312.102
Dosen Pembimbing :
M.TAUFIK.S.ag
JURUSAN EKONOMI
ISLAM (A)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUTE AGAMA
ISLAM NEGRI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
2013/2014
BAB
I
Kata Pengantar
Puji
syukur atas kehadirat Allah SWT yang mana berkat rahmat beliau penulis dapat
membuat Makalah ini.
Konsumsi
adalah suatu kemempuan manusia untuk menghabiskan nilai guna suatu barang,
konsumsi tidak hanya berkaitan dengan
hubungan fisik namun konsumsi juga bisa di hubungkan dengan selera, identitas, atau gaya hidup
Sedangkan gaya hidup adalah suatu
gambaran seseorang dalam membedakan penggunaan konsumsi dalam kehidupan.
Maka dari itu pemakalah akan
membahas tentang konsumsi dan gaya hidup, apabila ada kesalahan maupun
kekeliruan terlebih dahulu kami selaku pemakalah mohon maaf .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsumsi dan Gaya Hidup
Dalam sosiologi, konsumsi tidak
hanya dipandang bukan sekedar pemenuh kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis
manusia, tetapi berkaitan dengan aspek-aspek social budaya. Konsumsi
berhubungan dengan masalah selera, identitas, atau gaya hidup. Menurut ekonom,
selera sebagai suatau yang stabil, difokuskan pada nilai guna., dibentuk secara
individu, dan dipandang sebagai suatau yang eksogen. Sedangkan menurut
sosiolog, selera sebagai suatau yang dapat berubah, difokuskan pada suatu
kualitas simbolik suatau barang, dan tergantung persepsi selera orang lainn.
Weber (1922 1978) berpendapat bahwa
selera merupakan pengikat kelompok dalam (ingroup). Actor-aktor kolektif
berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam
berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber budaya, sehingga
akan meningkatkan prestis dan solidaritas kelompok dalam.
Sedangkan Veblen (1899-1973) memandang selera sebagai
senjata untuk berkompetisi. Kompetisi tersebut berlangsung antar pribadi.
Antara seorang dengan orang lain. Hal ini tercermin dalam masyarakat modern
yang menganggap selera orang dalam mengkonsumsi suatu barang akan dapat melihat
selera dasar dan penghargaan yang didapat [1].
Konsumsi dapat dipandang sebagai
bentuk identitas. Barang-barang simbolik juga dapat menunjukkan kelompok pergaulannya.
Simmel (1907-1978)
mengatakan bahwa ego akan runtuh dalam kehilangan dimensinya jika ia tidak
dikelilingi oleh objek eksternal yang menajdi ekspresi dari kecenderungannya,
kekuatannya dan cara individualnya karena mereka mematuhinya, atau dengan kata
lain miliknya. Sebagai contoh, seorang pejabat yang meletakkan ensiklopedi
dalam rak ruang tamu atau kantornya yang menandakan bahwa ia mampu membeli
barang yang harganya relative mahal tersebut. Walau sebenarnya tidak pernah ia
baca, sehingga dapat dikatakan hanya sebagai pajangan semata.
Menurut sistem Ekonomi Konsumsi
berasal dari bahasa
Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan
yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda,
baik berupa barang
maupun jasa,
untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung[2]
Menurut Baudrillard,Konsumsi bukan
sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi
kenikmatan,satu fungsi indifidual,pembebasan kebutuhan,pemuasan diri,kekayaan
atau konsumsi objek.Namun konsumsi adalah suatu struktur yang bersifat external
dan bersifat memaksa individu [3]
Istilah gaya hidup’(Lifestayle) Memiliki arti sosiologis
yang lebih terbatas yakni hanya dapat dilihat atau merujuk kepada gaya hidup
khas dari suatu kelompok tertentu saja[4].
Adapun komponen komponen gaya hidup yang bisa kita amati diantaranya adalah dari
sifat indifidualistik,dari gaya berbusana,gaya bertutur kata,pilihan makanan
dan minuman,rumah,kendaraan dan lain-lain.dari berbagai komponen ditersebut
kita dapat melihat berbagai aspek yang
dapat menunjang kita untuk menentukan gaya hidup seseorang.[5]Sedangkan Menurut pandangan islam
gaya hidup yang paling sesuai adalah gaya hidup sederhana gaya hidup ini
melarang sikap arogansi,kemegahan,kecongkakan dan kerendahan moral.[6]
B.
Hubungan
Konsumsi dan Gaya Hidup
Hubungan antara gaya
hidup dan pola konsumsi masyarakat ialah, setiap pemilihan gaya hidup akan
mempengaruhi pola konsumsi pada masyarakat. Gaya hidup ialah istilah
untuk menggambarkan cara hidup seseorang (Alfred Adler,1929). Orang yang
berasal dari subkultur, kelas sosial dan pekarjaan yang sama dapat mempunyai
gaya hidup yang berbeda. Gaya hidup seseorang menunjukkan pola kehidupan orang
yang bersangkutan yang tercermin dalam kegiatan, minat dan pendapatan (Bilson
Simamora,2002).[7]
Webber (1922-1978) mengatakan bahwa konsumsi
terhadap suatu barang merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok
status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan
dari kelompok status. Sehingga situasi kelas ditentukan oleh ekonomi sedang
situasi status ditentukan oleh penghargaan social. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan, status guru dan pedagang lebih tinggi guru walaupun pendapatannya
lebih besar pedagang. Hal ini dikarenakan guru mempunyai peluang yang besar
untuk mencari peluang tambahan. Sebagai contoh bekerja sampingan sebagai
pedagang. Guru akan lebih berhasil dari pada pedagan tulen karena masyarakat
menganggap guru adalah orang yang berpendidikan dan tidak mungkin berbuat
curang. Sehingga orang akan cenderung berbelanja pada guru. Atau pada
masyarakat perkotaan, para pengusaha berhak mendapat gelar bangsawan karena dia
mampu memberi suatu sumbangan pada keraton. Walau ada pihak yang lebih berhak
mendapat gelar tersebut.
Sedang menurut vablen (1899-1973), penghargaan social terhadap
masyarakat luas terletak pada keperkasaan, misalnya perang. Sedang pada
masyarakat industry terletak pada kepemilikan kesejahteraan seseorang. Juga
pada konsumsi yang dilakukan sebagai indikator dari gaya hidup kelompok status.
Han peter Mueller (1989), mengatakan
ada 4 pendekatan dalam memahami gaya hidup :
1. Pendekatan psikolog perkembangan :
tindakan seseorang tidak hanya disebabkan oleh teknik, ekonomi dan politik,
tetapi juga dikarenakan perubahan nilai.
2. Pendekatan kuantitatif social
struktur : mengukur gaya hidup berdasarkan konsumsi yang dilakukan seseorang.
Pendekatan ini menggunakan sederet daftar konsumsi yang mempunyai skala nilai.
3. Pendekatan kualitatif dunia
kehidupan : memandang gaya hidup sebagai lingkungan pergaulan.
4. Pendekatan kelas : mempunyai
pandangan bahwa gaya hidup merupakan rasa budaya yang direprodiksi bagi
kepentingan struktur kelas.[8]
C. Gaya Hidup dan Kelas Menengah
Indonesia
Kelas menengah di Indonesia banyak
dibicarakan karena dianggap sebagai agen penggerak kedinamisan masyarakat atau
secara pendekatan konflik, kelas menengah adalah pendobrak kemapanan (politik
dan ekonomi).
·
Aliran pemikiran
Dalam masyarakat, aliran pemikiran
dikelompokkan dalam dua kutub, yakni arus pemikiran abangan dan arus pemikiran
santri. Kedua arus pemikiran ini dapat ditaraik sebagai suatu gais kontinum,
dimana pada satu sudut merupakan sumber arus pemikiran abangan sedangkan sudut
lain merupakan sumber pemikiran santri.
Arus
pemikiran abang
Arus Pemikiran Santri
Perbedaan antara kedua arus tersebut
berakar pada penghayatan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam agama serta
pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam pemikiran santri,
cara berbusana harus berdasarkan ketentuan agama, yakni menutup aurat. Tapi
dalam pemikiran abanangan, boleh memakai rok mini karena dalam etika yang
mereka anut tidak melarang hal demikian. Perbedaan yang demikian juga menorah
pada kanvas sejarah politik Indonesia, yakni ketika pada orde lama terdapat
partai Masyumi sebagai pemikiran santri dan Partai Nasional Indonesia sebagai
arus pemikiran abangan.[9]
·
Heterogenitas Kelas Menengah
Atas
Dua arus pemikiran yang memberi warna pada kanvas kelas atas
masyarakat Indonesia juga turut memberikan warna pada kanvas kelas menengah
Indonesia. Dengan dasar pemikiran tersebut, kita dapat mengklasifikasikan kelas
menengah Indonesia atas : (1) kelas menengah abangan; (2) kelas menengah
santri.
kelas atas
kelas menengah
kelas bawah
Dengan demikian setiap lapisan kelas
mempunyai arus pemikiran yang berbeda. Inilah penyebab mengapa kelas menengah
Indonesia tidak mampu menjadi agen pembaharu. Struktur kelas Indonesia
terpotong oleh nilai-nilai yang diwarisi secara sejarah semenjak sebelum
pergerakan kemerdekaan. Dalam persaingan untuk memperebutkan dan memperjuangkan
kepentingan maka arus pemikiran yang ada dapat mengkristal menjadi
kelompok-kelompok strategis.
Kelas menengah abangan diperkirakan
lahir pada dekade 1970-an. Kemunculan kelas menengah abangan dirangsang oleh
menguatnya arus ekonomi Jepang ke Indonesia dan kemapanan kekuasaan (politik
dan ekonomi pada kelompok tertentu). Hal ini ditandai dengan terjadinya
demonstrasi besar-besaran yang digerakan oleh mahasiswa terutama Universitas
Indonesia, yang diarahkan pada dominasi ekonomi Jepang pada perekonomian
Indonesia dengan perusakan sesuatu yang berhubungan dengan Jepang, misalnya
pembakaran mobil-mobil buatan Jepang.
Sedangkan kelas menengah santri
diperkirakan lahir satu dekade setelah kelahiran kelas menengah abangan yaitu
sekitar 1980-an. Kelahirannya ditandai dengan kemunculan studi-studi keagamaan
di kampus-kampus elit di Indonesia. Kemunculan studi keagamaan tersebut
merupakan reaksi terhadap ketidak mampuan gaya hidup “modern” untuk
mengakomodasikan permasalahan kehidupan masyarakat seperti hak-hak asasi
manusia, bank penyelamat semu keuangan, dan seterusnya. Perbedaan keduanya
adalah demonstrasi disertai perusakan oleh kelas menengah abangan dan
demonstrasi damai oleh kelas menengah santri.
·
Gaya Hidup Kelas Menengah
Indonesia
Kelas menengah abangan mengikuti
arus perkembangan gaya hidup yang ditawarkan melalui proses globalisasi, yaitu
gaya hidup barat (Gerke, 1994). Mereka mengikuti perkembangan mode yang
ditawarkan oleh perusahaan garmen internasional seperti kaos berlengan buatan
Hammer atau Benelton, menikmati fast-food, misalnya seperti di restoran Mc
Donald, di Pizza Hut, dan di Burger King.
Sedangkan kelas menengah santri
mengikuti arus perkembangan gaya hidup yang mereka ciptakan sendiri yang
dilandaskan pada nila-nilai keagamaan yang mereka anut. Mereka mengikuti
perkembangan jilbab yang ditawarkan oleh Ida Royani atau rumah mode Ummi Collection,
mengadakan liburan dengan melakukan kegiatan umrah ke Mekkah atau kegiatan
shalat tarawih di Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawiah di Madinah, serta
memakan makanan yang berlabel halal misal di restoran padang atau masakan
nasional lainnya.
Jika kelas menengah abangan lebih
suka meramaikan pasar swalayan dan menonton bioskop maka kelas menengah santri
lebih suka menghadiri pengajian agama dari rumah ke rumah atau di masjid. Jika
kelas menengah abangan lebih suka menikmati bunga yang ditamankan pada bank
umum maka kelas menengah santri lebih suka menikmati hasil kerja sama dengan
bank Islam, meskipun hasil yang diperoleh lebih kecil dari bunga yang didapat
jika ditabung pada bank-bank umum.
·
Konsumsi Simbolik
Tidak semua anggota kelas menengah
mampu mengkonsumsi barang-barang simbol kelas menengah secara nyata. Dengan
kata lain mereka mengkonsumsi barang-barang simbol kelas menengah secara tidak
langsung pada barang yang dimaksud tetapi melalui makna dari barang yang
disimbolkan. Contohnya konsumsi simbol yang dilakukan kelas menengah abangan,
orang-orang muda mengabiskan waktunya untuk duduk sambil makan di Mc Donalds
atau Burger King. Dirumah mereka berjejer miniatur patung Liberty, Merlion yang
semuanya menunjuk pada suatu tempat yang jauh dimana banyak orang yang ingin
datang ke sana.[10]
Hal yang sama juga dialami oleh
kelas menengah santri, misalnya dalam rumah mereka pada ruang tamunya ditempel
gambar Ka’bah atau Masjid Nabawiah Madinah walaupun mereka belum pernah
berkunjung ke sana. Atau mereka memakai songkok putih yang lazim dipakai oleh
para haji Indonesia sebagai pengenal telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah,
padahal mereka belum pernah melakukannya di sana.
·
Dampak Ekonomi dari Gaya Hidup
Produsen yang berhasil adalah
produsen yang mengetahui dan mengikuti perkembangan selera dari konsumen.
Perkembangan kelas menengah santri telah pula menyebabkan menjamurnya
rumah-rumah mode yang khusus memperlihatkan busana muslim dan muslimah seperti
Ida Royani serta menjamurnya jumlah penerbit seperti “Gema Insani Press” dan “
Salahuddin”. Konsekuensinya dari hal tersebut adalah berkembangnya toko-toko
yang khusus menjual produk-produk yang berhubungan dengan (simbol-simbol)
keagamaan. Selain itu, munculnya tawaran-tawaran baru berumrah ke Mekkah atau
berziarah ke tempat yang ada hubungannya dengan sejarah Islam. Semua itu dapat
dipandang sebagai dampak ekonomi dari perkembangan gaya hidup dari kelas
menengah santri Indonesia.
Sedangkan dampak ekonomi dari
perkembangan gaya hidup dari kelas menengah abangan adalah muncul dan
membesarnya kelompok perusahaan pasar swalayan seperti Matahari, Borobudur dan
lainnya, dimana tidak hanya menjual barang-barang yang diproduksi untuk
konsumsi dalam negeri tetapi juga menyajikan barang yang berkualitas ekspor.
Kemudian banyak muncul bioskop twenty-one, pesatnya perkembangan media massa
yang melakukan spesialisasi dan ekspansi pasar seperti Gramedia. Lajunya
pertumbuhan dan perkembangan bank-bank swasta seperti BCA dan Danamon. Suburnya
pertumbuhan pusat-pusat “kesegaran jasmani” yang menawarkan sejumlah aktivitas
fisik yang dapat mempercantik dan memperindah tubuh seperti senam dengan
berbagai macam jenisnya mulai dari tradisional sampai modern. Gerakan
mempercantik tubuh ini berkembang seiring dengan arus informasi yang digulirkan
lewat media komunikasi yang berskala internasional dan nasional, dimana
menggiring peminatnya pada suatu opini tentang apa itu cantik, indah, molek,
anggun dan lainnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsumsi berhubungan dengan masalah selera,
identitas dan gaya hidup. Konsumsi dapat membentuk identitas seseorang dari
barang-barang simbolis yang ia konsumsi. Hubungan antara konsumsi dan gaya
hidup terbentuk ketika kita melihat seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang
maka akan terlihat bagaimana gaya hidup mereka. Selain itu konsumsi dapat juga
dijadikan acuan dalam penjenjangan suatu kelas social.
Kenyataan yang terjadi di Indonesia
adalah bahwa penggerak kedinamisan dalam masyarakat adalah kelas menengah.
Ketika kita menbedakan masyarakat kelas menengah dalam dua bagaian, yakni
abangan dan santri, maka akan terlihat jelas bagaimana konsumsi dan gaya hidup
yang terjadi pada dua kelompok tersebut. Mereka lebih suka berpegangan pada
keyakinan masing-masing. Sehingga baik konsumsi dan gaya hidup kaum santri
maupun abangan, masing-masing dari mereka telah berperan dalam perkembangan
perekonomian nasional, walaupun dengan keyakinan dan pilihan sendiri-sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
·
Featherstone Mike .posmoderisme budaya konsumen.pustaka pelajar.yogyakarta.2001
·
Damsar, Sosiologi Ekonomi. PT.Raja Grafindo.2002
·
Pitzer George,Masyarakat Konsumsi.Kreasi wacana1970
·
M.B.Hendrie Anto.Pengantar ekonomi islam.ekonisia..2003
·
http://fisip.uns.ac.id/blog/simamatis/bagaimana-hubungan-antara-gaya-hidup-dan-pola-konsumsi- masyarakat/
[1] Damsar,sosiologi ekonomi.PT.Raja Grafindo.2002.hal 120
[2] http://id.wikipedia.org
[4]. Mike Featherstone .posmoderisme budaya
konsumen.pustaka pelajar.2001hal197
[6] M.B.Hendrie Anto.Pengantar ekonomi islam.ekonisia..2003.hal 33
[8] Damsar,sosiologi ekonomi.PT.Raja Grafindo.2002.hal 120
[9] Damsar,sosiologi ekonomi.PT.Raja Grafindo.2002.hal 125
[10] Damsar,sosiologi ekonomi.PT.Raja Grafindo.2002.hal 130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar